![]() |
Foto : Adv. Rikha Permatasari, S.H., M.H., C.Med., C.LO., |
JAKARTA, Kanalberitanews.my.id – Isu pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kerap muncul di ruang publik, terutama saat masyarakat merasa tidak puas dengan kinerja para wakil rakyat. Namun, secara konstitusional, wacana tersebut tidak memiliki dasar hukum.
Praktisi Hukum sekaligus Konsultan Hukum, Adv. Rikha Permatasari, S.H., M.H., C.Med., C.LO., menegaskan bahwa rakyat Indonesia hanya memiliki hak konstitusional untuk mengevaluasi kinerja DPR melalui mekanisme Pemilihan Umum (Pemilu).
“Segala bentuk wacana pembubaran DPR di luar mekanisme konstitusional adalah inkonstitusional dan tidak memiliki dasar hukum,” ujar Rikha kepada wartawan.
Menurut Rikha, DPR merupakan lembaga negara yang memiliki kedudukan sangat kuat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal itu tertuang dalam UUD 1945 Bab VIIA Pasal 19 hingga Pasal 22B.
![]() |
Gambar demo gerakan tgl. 25/08/2025 |
“DPR dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu. Karena itu, rakyat hanya berwenang memilih, bukan membubarkan. Mekanisme pembubaran DPR memang tidak dikenal dalam konstitusi kita,” tegasnya.
Ia menambahkan, beberapa pasal UUD 1945 juga mempertegas posisi DPR. Pasal 1 ayat (2) menyebutkan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Pasal 20A ayat (1) menegaskan DPR memegang kekuasaan legislatif, sedangkan Pasal 7C secara eksplisit menutup peluang Presiden untuk membubarkan DPR.
“Bahkan Presiden sekalipun tidak memiliki kewenangan membekukan atau membubarkan DPR,” jelas Rikha.
Menurutnya, satu-satunya mekanisme yang dapat mengakhiri masa jabatan DPR adalah melalui Pemilu legislatif atau perubahan UUD 1945 oleh MPR. Sementara itu, opsi lain seperti kudeta maupun revolusi sama sekali tidak diakui dalam hukum positif Indonesia.
“Kesimpulannya, secara hukum positif, DPR tidak bisa dibubarkan. Jalan satu-satunya adalah menunggu Pemilu berikutnya atau melalui amandemen UUD 1945,” pungkas Rikha. (Y4N/Red)